Berikut adalah kata sepakat ulama tentang penggunaan ilmu hisab dalam penentuan ibadah.
Nukilan Sepakat Ulama di Masa Silam
Al Baaji berkata,
إِجْمَاعُ السَّلَفِ عَلَى عَدَمِ الاِعْتِدَادِ بِالحِسَابِ ، وَأَنَّ إِجْمَاعَهُمْ حُجَّةٌ عَلَى مَنْ بَعْدَهُمْ
“Para ulama sepakat bahwa metode hisab bukanlah jadi tolak ukur dalam penentuan awal bulan. Kesepatan para ulama inilah yang jadi argumen untuk meruntuhkan pendapat mereka yang masih membela metode hisab.” (Fath Al-Baari, 4: 127)
Begitu pula Ibnu Bazizah berkata, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen.) adalah madzhab batil. Sungguh syariat Islam telah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (zhon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini kecuali sedikit”. (Fath Al-Baari, 4: 127)
Ucapan Tegas dari Syaikh Ibnu Baz bagi Ulama Belakangan yang Menyelisihi Sepakat Ulama
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz ditanya mengenai hukum menjadikan hisab falaki sebagai standar dalam penentuan awal bulan. Fatwa ini dimuat di Majalah Al-Jami’ah Al-Islamiyyah di Madinah Al-Munawwarah, tahun 1394 H.
Beliau menjelaskan bahwa, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengaitkan banyak hukum dengan memakai patokan hilal, seperti dalam hal puasa, haji, hari raya, begitu pula perhitungan bulan pada masalah ‘iddah dan ila’. Karena hilal adalah hal yang bisa disaksikan dan dilihat oleh setiap mata. Sesuatu lebih bisa diketahui dengan melihat langsung. Oleh karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum dengan hilal, di mana hilal ini dilihat. Rukyatul hilal ini dapat dilakukan oleh siapa saja. Tentu tidak ada kerancuan dalam penentuannya. Sebagaimana perintah rukyatul hilal ini disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
“Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080)
Dalam hadits lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوْا الِهلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عليكم فأكملوا العدة ثلاثين
“Janganlah kalian biasa hingga melihat hilal. Janganlah kalian berbuka hingga melihat hilal. Jika hilal itu tertutup awan, maka genapkanlah bulan menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari no. 1906, 1907 dan Muslim no. 1080)
Syaikh Ibnu Baz melanjutkan,
ومن هذا يتبين أن المعول عليه في إثبات الصوم والفطر وسائر الشهور هو الرؤية، أو إكمال العدة، ولا عبرة شرعا بمجرد ولادة القمر في إثبات الشهر القمري بدءا وانتهاء بإجماع أهل العلم المعتد بهم ، ما لم تثبت رؤيته شرعا. وهذا بالنسبة لتوقيت العبادات، ومن خالف في ذلك من المعاصرين فمسبوق بإجماع من قبله وقوله مردود ؛ لأنه لا كلام لأحد مع سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، ولا مع إجماع السلف. أما حساب سير الشمس والقمر فلا يعتبر في هذا المقام
Hadits di atas menunjukkan secara jelas bahwa dalam penetapan puasa, berhari raya Idul Fitri, dan penentuan bulan lainnya adalah dengan rukyatul hilal, kalau tidak dengan menggenapkan bulan menjadi tiga puluh hari.
Sedangkan wujudnya hilal (lahirnya bulan) di awal dan akhir tidaklah dijadikan patokan untuk kalender qamariyah. Hal ini disepakati oleh para ulama. Selama hilal (awal bulan) tidak terlihat, maka tidak dijadikan standar syar’i. Ini berkaitan dengan penetapan waktu ibadah.
Adapun ulama belakangan yang menyelisihi kesepakatan di atas, perkataan dialah yang tertolak. Karena tidak boleh kita dahulukan perkataan manusia biasa di atas sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak boleh perkataan segelintir orang belakangan mengalahkan ijma’ salaf (sepakat ulama) yang terlebih dahulu ada.
Sedangkan hisab dalam pergerakan matahari dan bulan bukanlah jadi patokan dalam masalah ini. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15: 111)
Ada pula yang menukil perkataan Syaikh Ibnu Baz dan menjadikan dalil sebagai pendukung hisab lokal, bukan dengan hisab yang berada di Saudi Arabia. Nukilannya sebagai berikut.
فَأَمَّا قَوْلُ مَنْ قَالَ : إِنَّهُ يَنْبَغِي أَنْ يَكُوْنَ المعْتَبَر رُؤْيَةَ هِلاَلِ مَكَّةَ خَاصَّةٌ، فَلاَ أَصْلَ لَهُ وَلاَ دَلِيْلَ عَلَيْهِ
Adapun orang yang mengatakan bahwa yang diakui adalah rukyah hilal Mekkah, maka pendapat ini tidak ada dasar dan tidak ada dalilnya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15: 114)
Perkataan Syaikh Ibnu Baz itu benar. Namun perkataan itu bukan mendukung hisab, namun untuk mendukung rukyatul hilal. Jadi, mohon ketika menukil fatwa bisa menafsirkan sesuai dengan maksud pemberi fatwa.
Kalau Ada Nukilan Ijma’ Ulama, Maka …
Kalau ada nukilan ijma’ ulama, maka tidak tepat kaedah ini digunakan,
لاَ إِنْكَارَ فِي مَسَائِلِ الاِجْتِهَادِ
“Tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihadiyah.”
Karena masalah hisab bukan lagi masalah yang boleh diijtihadkan. Karena menurut kesepakatan ulama tidak boleh hisab dijadikan standar dalam penentuan awal bulan.
Kalau dikatakan para ulama sepakat, maka itu berarti ijma’. Kata sepakat ini bukan kata sepakat sembarang orang, bukan orang awam.
Dan umat tidak mungkin bersepakat dalam kesesatan, sehingga menyelisihi ijma’ itu teramat bahaya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisa’: 115). Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) ulama kaum muslimin. Ayat ini menunjukkan bahwa mengikuti ijma’ itu wajib.
Dalam hadits disebutkan,
إِنَّ أُمَّتِى لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ
“Sesungguhnya umatku tidak akan mungkin bersepakat dalam kesesatan.” (HR. Ibnu Majah no. 3950. Sanad hadits ini dha’if jiddan)
Perhatikan kata Prof. T. Djamaluddin, “TIDAK ADA model astronomis tentang wujudul hilal. Silakan cari di berbagai literatur astronomi, termasuk googling. Terminologi WH hanya ada di Muhammadiyah. Arab saudi menggunakan konsep serupa hanya untuk kepraktisan kalender sipil, bukan untuk penentuan waktu ibadah. TIDAK ADA di belahan dunia mana pun yang menggunakan konsep WH untuk penentuan waktu ibadah.” (Sumber: Hisab Rukyat).
Bagaimana dengan hisab dalam penentuan jadwal shalat? Kenapa boleh? Tunggu bahasan selanjutnya. Baca sebelumnya ada tulisan kami: Kelemahan Metode Hisab.
Wallahu waliyyut taufiq.
—
Diselesaikan di hari tasyriq, 12 Dzulhijjah 1436 H di Darush Sholihin
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Ikuti update artikel Rumaysho.Com di Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat (sudah 3,6 juta fans), Facebook Muhammad Abduh Tuasikal, Twitter @RumayshoCom, Instagram RumayshoCom
Untuk bertanya pada Ustadz, cukup tulis pertanyaan di kolom komentar. Jika ada kesempatan, beliau akan jawab.